Deadline for submission: Sept 27, 2024
Jambi, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara
Deforestasi, pencemaran laut, dan kerusakan biodiversitas laut akibat tambang nikel di Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah. Foto: 2023. Auriga Nusantara/Yudi Nofiandi
Eksploitasi sumber daya alam sering dinarasikan sebagai kegiatan yang mampu mendongkrak perekonomian. Di sisi lain, banyak bukti bahwa eksploitasi sumber daya alam juga menimbulkan ketidakadilan struktural terhadap masyarakat lokal. Baik berupa kutukan sumber daya (resources curse), ketergantungan sumber daya, atau spiral (life cycle) komunitas sumber daya, dampaknya menunjukkan adanya pola ketidakadilan di wilayah tempat ekstraksi berlangsung. Kemiskinan yang berkepanjangan dan bahkan isolasi ruang/tempat masih menjadi sumber ketidakadilan struktural yang signifikan.
Ketidakadilan struktural ini sebagian besar merupakan akibat dari perubahan penggunaan lahan yang terjadi akibat eksploitasi sumber daya alam, tidak terbatas pada industri ekstraktif saja, namun termasuk perluasan perkebunan kelapa sawit dan pengembangan kawasan hutan (hutan tanaman). Perubahan penggunaan lahan tidak hanya merampas lahan dari masyarakat adat dan komunitas lokal, yang seringkali bergantung pada lahan untuk kelangsungan hidup mereka, pada titik tertentu, perubahan penggunaan lahan juga menyebabkan kerusakan pada ekosistem alam.
Pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat telah diartikulasikan dalam berbagai bentuk hukum internasional. Hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam meliputi hak untuk memiliki, menggunakan, mengembangkan dan menguasai tanah adat dan sumber daya alamnya. Hak masyarakat adat atas tanah terdiri dari hak individu dan kolektif, dan Negara berkewajiban untuk memastikan pengakuan dan perlindungan yang efektif atas hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam.
Masyarakat adat tidak boleh terusir dari tanah atau wilayah mereka. Jika relokasi diperlukan, masyarakat adat yang terkena dampak harus memberikan Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (Padiatapa/FPIC - free, prior and informed consent) dan mendapat kompensasi yang memadai. Meskipun sudah ada pengakuan dan perlindungan di tingkat internasional dan regional, hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam seringkali dilanggar dan tidak dihormati di tingkat nasional, baik oleh negara maupun sektor swasta.
Meskipun fenomena ini bukanlah hal yang baru, karena hak-hak masyarakat adat secara historis tidak dihormati, nampaknya terjadi peningkatan jumlah pengungsian paksa yang dialami oleh masyarakat adat di seluruh dunia termasuk Indonesia. Dalam apa yang disebut sebagai 'perampasan tanah', terjadi percepatan tajam dalam akuisisi tanah di seluruh dunia, terutama oleh investor asing yang mencari tanah subur dan sumber daya alam. Perampasan tanah dan tekanan eksternal terhadap tanah masyarakat adat telah menjadi kenyataan yang meluas di Indonesia.
Deforestasi akibat pembangunan kebun sawit di SM Rawa Singkil, Aceh. Foto: 2024. Auriga Nusantara/Fajar Simanjuntak
Oleh karena itu, melalui “Memungkinkan Kontribusi Masyarakat Sipil terhadap Pembangunan yang Sejahtera, Adil dan Berkelanjutan dalam Transisi Energi dan Penggunaan Lahan Berkelanjutan” Project Auriga bersama WWF dengan dukungan Uni Eropa berupaya membuka ruang untuk mendukung organisasi masyarakat sipil agar dapat memainkan peran yang signifikan dalam pembangunan berkelanjutan. proses perumusan kebijakan transisi energi dan penggunaan lahan berkelanjutan serta implementasinya di lapangan. Lebih khusus lagi, kesempatan ini akan memberikan dukungan dalam melakukan serangkaian investigasi lapangan partisipatif (mendorong keterlibatan IPLC) mengenai penggunaan lahan yang adil dan transisi energi untuk mengembangkan pemantauan berbasis bukti. Fokusnya tidak hanya pada ekspansi industri, namun juga pada dampak perubahan penggunaan lahan, khususnya terkait pertambangan batu bara dan nikel, perluasan perkebunan kelapa sawit, dan perkebunan kayu. Penting untuk memahami bagaimana perubahan ini berdampak pada lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat adat dan komunitas lokal. Pemetaan wilayah masyarakat adat dan komunitas lokal juga perlu dilakukan sebagai dorongan pengakuan wilayah adat.
Melalui pendekatan ini, diharapkan dapat dikembangkan strategi mitigasi yang efektif dan inklusif. Hal ini tidak hanya akan membantu mengurangi kerusakan lingkungan dan konflik sosial namun juga akan mendukung keberlanjutan ekonomi dan sosial masyarakat lokal. Oleh karena itu, penelitian dan pemantauan yang berfokus pada perubahan penggunaan lahan akibat ekspansi industri nikel dan batu bara, perkebunan kelapa sawit, dan hutan tanaman merupakan langkah penting dalam menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan serta keadilan sosial.
Dukungan Pendanaan Kepada Pihak Ketiga (FTSP - Financial Support on Third Party) ini tidak hanya bertujuan untuk memberikan dukungan finansial, juga memperkuat peran masyarakat sipil dan komunitas lokal dalam perubahan penggunaan lahan dan transisi energi melalui pengawalan berbasis-bukti (evidence-based monitoring). Peluang ini membuka ruang dukungan bagi masyarakat sipil pada perihal berikut:
Pembangunan jaringan jalan di konsesi kebun kayu PT Babugus Wahana Lestari, yang akan menjadi pembuka bagi deforestasi yang lebih masif. Foto: 2024. Auriga Nusantara/Fajar Simanjuntak
FSTP ini memiliki fokus khusus pada wilayah lokal dengan ancaman perubahan penggunaan lahan yang tinggi akibat perluasan pertambangan nikel dan batubara, perkebunan kelapa sawit, dan perkebunan kayu. CSO yang melamar harus berbasis di empat provinsi yang diprioritaskan oleh Auriga Nusantara dan WWF-Indonesia: Jambi, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara, dan/atau Sulawesi Tengah. Selain itu, syarat lain yang harus dipenuhi antara lain sebagai berikut:
Deforestasi oleh pembangunan kebun sawit di Kalimantan Tengah. Foto: 2018. Auriga Nusantara
Selain persyaratan di atas, WWF-Indonesia dan Auriga Nusantara juga akan melakukan penilaian berdasarkan:
WWF Indonesia dan Auriga Nusantara akan mengumumkan penerima dana hibah yang akan didanai selama 6 bulan dengan jumlah maksimal Rp 250.000.000. Transfer dana hibah ditargetkan pada akhir September atau awal Oktober 2024.
Proses ini diselenggarakan sesuai tahapan berikut:
Deforestasi di dalam konsesi PT Permata Nusa Mandiri di Kabupaten Jayapura, Papua. Foto: 2022. Auriga Nusantara/Yudi Nofiandi
Template proposal pada link berikut: narasi dan budget.
Proposal lengkap dapat dikirim ke alamat email: hilman@auriga.or.id dengan tersalin (cc-ed) ke: info@auriga.or.id dan Riski Muda Farsyah (rmfarsyah@wwf.id)