Logo

EN | ID

Saatnya FSC hentikan perundingan pemulihan dengan APRIL karena keterhubungan korporasi ini dengan deforestasi dan konflik terkini di Indonesia

Earthsight dan Auriga Nusantara kini turut mendesak FSC agar segera menghentikan pemulihan hubungan dengan APRIL, setidaknya hingga rantai pasok seluruh perusahaan RGE dan pemasoknya bebas deforestasi, hutan yang barusan dirusak dipulihkan, dan konflik dengan masyarakat lokal diselesaikan.

  • Satu dekade sejak memutus hubungan dengan produsen pulp dan kertas APRIL, karena praktik deforestasi pada rantai pasoknya, Forest Stewardship Council (FSC) kini berunding dengan perusahaan tersebut untuk kembali beroleh sertifikat melalui proses pemulihan atas kerusakan yang ditimbulkannya pada masa lalu.
  • Perundingan tersebut tetap dilanjutkan meski banyak seruan organisasi masyarakat sipil dan media investigatif untuk menundanya sehubungan banyaknya temuan keterhubungan induk perusahaan APRIL, yakni konglomerasi Royal Golden Eagle (RGE), dengan konflik dan deforestasi masif terkini di Indonesia.
  • Kebijakan FSC menegaskan bila ada perusahaan dalam satu grup yang terlibat deforestasi atau pelanggaran hak asasi, perusahaan lain dalam grup tersebut terlarang beroleh sertifikat FSC.
  • Pada Juni 2024, koalisi masyarakat sipil bersurat ke FSC mendesak penundaan pemulihan hubungan dengan APRIL, namun FSC melalui website-nya mengindikasikan perundingan akan tetap diteruskan.
  • Earthsight dan Auriga Nusantara kini turut mendesak FSC agar segera menghentikan pemulihan hubungan dengan APRIL, setidaknya hingga rantai pasok seluruh perusahaan RGE dan pemasoknya bebas deforestasi, hutan yang barusan dirusak dipulihkan, dan konflik dengan masyarakat lokal diselesaikan.

Kanal yang dibangun untuk pengeringan gambut di dalam konsesi kebun kayu Mayawana Persada. Kanal-kanal seperti ini merupakan “pintu masuk” deforestasi, Maret 2024. © Auriga Nusantara

Lebih dari satu dekade lalu, Forest Stewardship Council (FSC) melarang Asia Pacific Resources International Holdings Ltd (APRIL), salah satu produsen pulp dan kertas terbesar di dunia, menggunakan logo merek dagangnya setelah berbagai organisasi masyarakat sipil mengungkap bagaimana perusahaan tersebut terlibat penghancuran masif hutan alam dan pelanggaran hak-hak masyarakat adat dan adat di Indonesia. Kini, melalui skema Remedy Framework, FSC sedang berunding dengan APRIL yang membuka ruang berakhirnya keterputusan hubungan (disasosiasi) keduanya sehingga APRIL boleh menggunakan logo FSC dalam penjualan produknya sebagai produk berkelanjutan.

Perundingan ini berlangsung meski banyak bukti terjadinya pelanggaran hak asasi dan perusakan lingkungan yang terhubung dengan induk usaha APRIL, yakni Royal Golden Eagle (RGE), melalui perusahaan tersamar (shadow companies), meski RGE membantah mengendalikannya. RGE merupakan grup usaha yang berkantor pusat di Singapura dan merupakan konglomerasi sawit, konstruksi, dan energi di Indonesia. Setidaknya dua laporan yang dipublikasi tahun ini menunjukkan perusahaan-perusahaan yang terhubung dengan RGE terlibat perusakan hutan secara masif dan menangguk keuntungan perdagangan kayu alamnya. Karenanya, FSC seyogianya menghentikan proses pemulihan (remedy process) dengan APRIL – sesedikit mungkin menjadi greenwashing dalam skala industri.

APRIL merupakan penghasil pulp dan kertas terbesar kedua di Indonesia, yang pasar utamanya mencakup Eropa, Inggris, dan Amerika Serikat. Saat APRIL memulai produksi pulp komersilnya di Riau pada 1995, sebagian besar pasokan kayunya berasal dari pembabatan hutan alam. 

Pada awal 2000-an, APRIL mengaku memiliki konsesi lebih dari 330.000 hektare di Indonesia. Hingga pertengahan 2004, lebih dari 137.000 hektare tumbuhan alami dalam konsesi-konsesi ini telah dibabat dan dikonversi menjadi kebun kayu monokultur. Setelah serangkaian keluhan atas pembabatan hutan dan pelanggaran hak asasi ini diajukan berbagai organisasi masyarakat sipil, pada 2013 FSC memutuskan hubungan (disasosiasi) dengan APRIL.

Ekskavator beroperasi di konsesi kebun kayu PT Mayawana Persada, Maret 2024 © Auriga Nusantara

Pada Januari 2014, APRIL mengadopsi ‘Kebijakan Pengelolaan Hutan Berkelanjutan’. Namun laporan lapangan organisasi masyarakat sipil dan audit independen pada tahun berikutnya mengungkap pelanggaran-pelanggaran berat terhadap kebijakan tersebut, sebagaimana deforestasi terus berlanjut di konsesi pemasok APRIL dan konflik dengan masyarakat setempat yang tak kunjung diselesaikan. Meski begitu, APRIL tetap mendekati FSC memohon untuk pengakhiran disosiasi, sehingga dialog formal antara FSC dan APRIL dilangsungkan pada 2016. Pada November 2023 FSC dan APRIL menandatangani Perjanjian Kerangka Kerja Pemulihan (Remedy Framework Agreement), termasuk di dalamnya komitmen APRIL untuk menyelesaikan konflik dengan masyarakat setempat dan peniadaan deforestasi di seluruh konglomerasinya.

Kebijakan Asosiasi FSC menegaskan bahwa agar sebuah perusahaan beroleh sertifikat FSC, tidak ada perusahaan di dalam grup usaha (dalam hal APRIL, tentu termasuk semua perusahaan di bawah payung RGE) yang terlibat dalam kegiatan yang tidak dapat diterima (unacceptable activities), termasuk terlibat deforestasi atau pelanggaran terhadap hak-hak asasi masyarakat adat dan lokal atau hak-hak pekerja.

Deforestasi masif di konsesi kebun kayu PT Wayawana Persada, Kalimantan Barat. Juli 2023. © Auriga Nusantara

Meski demikian, banyak perusahaan yang terhubung dengan RGE tetap memicu dan menangguk keuntungan dari serangkaian deforestasi terburuk di Indonesia. Di posisi puncak kasus seperti ini adalah PT Mayawana Persada, yang mengelola 138.809 hektare konsesi kebun kayu di Kalimantan Barat. Demi membangun kebun kayu pulp, hutan alam di dalam konsesi ini dibabat, setidaknya 33.000 hektare–setara separuh Singapura–sejak 2021. Pembabatan hutan ini memicu konflik dengan masyarakat adat Dayak, emisi karbon yang sangat besar, serta merusak habitat spesies terancam punah, termasuk orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus).

Sarang orangutan di konsesi kebun kayu PT Mayawana Persada, Maret 2024 © Auriga Nusantara

Laporan Pembalak Anonim yang dipublikasi Auriga Nusantara, Environmental Paper Network, Greenpeace, Woods & Wayside International dan Rainforest Action Network pada Maret 2024 menampilkan secara rinci keterhubungan operasional, personel, dan rantai pasok antara Mayawana Persada dengan RGE, serta dengan pabrik kayu lapis PT Asia Forestama Raya (AFA) yang menampung 24.231 m³ kayu alam gelondongan (log) dari Mayawana Persada pada 2022-2023, dan merupakan sebagian besar pasokan kayunya. Sukanto Tanoto, pendiri sekaligus pemimpin RGE, merupakan pemilik saham mayoritas AFA melalui satu perusahaan induk hingga Juli 2023, saat sahamnya dipindahkan ke satu perusahaan yang berdomisili di British Virgin Islands (yang selanjutnya, melalui database Offshore Leaks yang dikelola International Consortium of Investigative Journalist, terhubung dengan RGE).

Masyarakat adat Dayak Benua Kualan Hilir memprotes perusakan hutan sakral dan tanah leluhur mereka, dengan ritual 'mandoh' yang sekaligus menghalangi alat berat perusahaan beroperasi, Juli 2023 © Auriga Nusantara

RGE memang membantah afiliasinya dengan Mayawana Persada. Namun, melalui tanggapannya terhadap laporan di atas, tidak ada sangkalan terhadap keterhubungannya dengan Asia Forestama Raya atau bantahan terhadap bukti-bukti di balik dugaan tersebut. Saat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia menerbitkan perintah “penghentian aktivitas penebangan” kepada Mayawana Persada pada April 2024, surat itu hanya menitahkan jeda sesaat. Hubungan tak-terbantah antara RGE dan perdagangan log Mayawana Persada menegaskan keterlibatan RGE dalam perusakan lingkungan dan sosial yang justru disepakatinya untuk diselesaikan melalui proses pemulihan FSC.

Gambar udara yang memperlihatkan kanal-kanal yang dibangun untuk mengeringkan gambut di dalam konsesi kebun kayu PT Mayawana Persada, Juli 2023 © Auriga Nusantara

Pada Juni 2024, koalisi organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari Earthsight, Auriga Nusantara, Environmental Paper Network, Greenpeace, Woods & Wayside, dan Rainforest Action Network menyurati FSC meminta penangguhan proses pemulihan APRIL, merujuk pada serangkaian bukti dan temuan terpublikasi mengenai deforestasi dan konflik sosial yang terhubung dengan RGE. Dalam tanggapannya, FSC menyatakan menjadikan review struktur konglomerasi RGE sebagai bagian dari prosedur standar kerangka pemulihan (remedy framework). Akan tetapi, FSC tidak menyampaikan akan melakukan tindakan tertentu terhadap bukti-bukti (deforestasi dan konflik sosial) yang ada.

Beberapa bulan kemudian, seiring berlanjutnya dialog FSC-APRIL, hadir dugaan RGE mengoperasikan jaringan perusahaan tersamar (shadow companies) yang melaluinya terjadi pengabaian komitmen keberlanjutan yang telah diikrarkannya. Liputan investigasi Gecko Project pada Oktober 2024, menampilkan kesaksian orang dalam (insider) bahwa enam perusahaan pulp yang tergabung dalam grup tersamar (shadow group) PT Borneo Hijau Lestari pada dasarnya dikendalikan RGE. Perusahaan-perusahaan tersebut secara konsisten berada di urutan atas pelaku deforestasi pada sektor kebun kayu Indonesia, termasuk PT Industrial Forest Plantation yang membabat sekitar 22.000 hektare hutan pada 2016-2022. RGE sendiri menyangkal kendalinya terhadap perusahaan-perusahaan tersebut.

Keterlibatan RGE dalam deforestasi tidak terbatas pada industri pulp. Sebulan lalu, laporan Rainforest Action Network mengungkap adanya satu pabrik sawit pemasok Apical (anak usaha RGE yang bergerak pada sektor industri sawit) yang menampung sawit ilegal yang ditanam melalui konversi hutan alam Suaka Margasatwa Rawa Singkil, satu area konservasi di Kawasan Ekosistem Leuser, Aceh, yang merupakan habitat terpadat orangutan sumatera (Pongo abelii) di dunia. Apical disebut akan menyelidiki hal ini.

Menimbang bukti-bukti sebagaimana disajikan di atas, Earthsight dan Auriga Nusantara mendesak FSC menghentikan proses pemulihan dengan APRIL, setidaknya hingga deforestasi berakhir dan pelanggaran hak masyarakat lokal diselesaikan di seantero RGE, termasuk jaringan perusahaan tersamarnya. Melanjutkan perundingan dengan APRIL perihal bergabungnya kembali grup usaha tersebut dalam sertifikasi FSC sangat berpotensi melibatkan FSC pada pelacuran citra korporasi (greenwashing) paling buruk yang pernah terjadi di Indonesia.

Narahubung