Deforestasi masif di Kalimantan hancurkan habitat orangutan
Penghancuran hutan mematik pertanyaan terhadap keseriusan komitmen Zero-Deforestation Royal Golden Eagle, produsen viscose terbesar di dunia.
Jakarta, 18 Maret 2024 - Hari ini, koalisi organisasi lingkungan telah merilis laporan berjudul Pembalak Anonim yang menyoroti kebangkitan kembali deforestasi di Indonesia, didorong oleh PT Mayawana Persada di Kalimantan Barat. Bukti yang disajikan dalam laporan tersebut merekam kasus deforestasi terbesar saat ini di antara semua perusahaan perkebunan pulp dan sawit di Indonesia. Secara khusus laporan ini menerawang bagaimana dalam tiga tahun terakhir, PT Mayawana Persada, yang mengelola konsesi hutan di Kalimantan Barat, telah melakukan pembabatan hutan alam tropis lebih dari 33.000 hektare, atau setara dengan luasan hampir separuh ukuran Singapura.
Selain itu, laporan ini juga menunjukkan bahwa Mayawana adalah satu contoh dari banyaknya perusahaan yang memanfaatkan struktur korporasi kompleks melibatkan yurisdiksi lepas pantai (offshore jurisdictions) yang penuh kerahasiaan untuk melakukan pembabatan hutan tropis besar-besaran. Dalam kasus Mayawana, deforestasi ini telah menghancurkan habitat orangutan Kalimantan dan spesies terancam lainnya, serta memicu konflik antara perusahaan dan komunitas Dayak setempat.
Hilman Afif dari Auriga Nusantara, salah satu organisasi yang turut menerbitkan laporan tersebut, menyatakan, “Saat ini tersisa 55.000 hektare hutan alam di dalam konsesi Mayawana, menjadikannya sebagai batu uji kritis terhadap upaya pengendalian deforestasi di Indonesia.” Namun, struktur kepemilikan perusahaan yang tidak transparan menyulitkan publik luas untuk mengetahui siapa yang harus bertanggung jawab atas kerusakan hutan oleh perusahaan itu.
Deforestasi dalam konsesi PT Mayawana Persada sejak 2021. @Nusantara Atlas/TheTreeMap
PT Mayawana Persada dimiliki oleh perusahaan induk berlapis yang mengarah ke yurisdiksi dengan kerahasiaan tinggi yaitu British Virgin Islands dan Samoa – dua yurisdiksi yang tidak mewajibkan pengungkapan nama-nama pemegang saham kepada publik. “Struktur korporasi yang rumit ini, pada dasarnya, tidak hanya menyembunyikan pemilik manfaat utama perusahaan tetapi sekaligus melindungi mereka dari risiko hukum dan reputasi atas penghancuran hutan tropis yang begitu luas,” kata Arie Rompas dari Greenpeace Indonesia.
Dalam kasus Mayawana, dokumen perusahaan, keterkaitan operasional manajemen, dan hubungan rantai pasoknya menunjukkan bahwa perusahaan ini memiliki hubungan dengan grup Royal Golden Eagle (RGE). RGE adalah produsen global untuk produk pulp, kertas, kemasan, tisyu, dan viscose, dan merupakan konglomerat induk dari APRIL, Asia Symbol, dan Sateri. Pada 2015, RGE – serta beberapa anak perusahaannya termasuk APRIL – memulai kebijakan "nol-deforestasi" dalam rantai pasoknya. Sebagian pembeli produk RGE adalah beberapa merek mode terbesar di dunia, produsen barang konsumen, dan pengecer umum, banyak di antaranya membuat klaim keberlanjutan pada konsumennya yang menyatakan bahwa bisnis atau produk mereka tidak menyebabkan penghancuran hutan tropis atau merugikan masyarakat. Klaim keberlanjutan ini sekarang dipertanyakan atas deforestasi yang terus dilakukan oleh Mayawana di Kalimantan Barat.
Deforestasi yang dilakukan oleh Mayawana seolah menghapus apa pun pembenaran upaya reasosiasi antara Forest Stewardship Council (FSC) dengan APRIL, perusahaan induk Grup RGE untuk bisnis pulp dan kertas di Indonesia. Satu dekade lalu, APRIL dikeluarkan dari organisasi tersebut karena praktik merusak hutan. Organisasi yang mempublikasikan laporan ini mendesak FSC untuk menghentikan “proses pemulihan" yang berjalan dengan APRIL untuk kembali masuk ke skema sertifikasi keberlanjutan, setidaknya sampai Mayawana menghentikan deforestasi dan pembukaan lahan gambut, APRIL mengungkap struktur bisnisnya ke publik dengan memuat semua entitas perusahaan di yurisdiksi kerahasiaan, dan Mayawana menyelesaikan konfliknya dengan komunitas Dayak setempat dengan cara yang adil dan bertanggung jawab.
Melalui pernyataan yang diterbitkan oleh APRIL, Grup RGE membantah seluruh keterkaitan grup itu dengan PT Mayawana Persada. Tanggapan RGE dicantumkan secara utuh dalam laporan tersebut.
Organisasi yang menerbitkan laporan yang berjudul, Pembalak Anonim: Deforestasi di hutan tropis dan konflik sosial yang dipicu oleh PT Mayawana Persada di Kalimantan Barat meliputi: Auriga Nusantara, Environmental Paper Network, Greenpeace International, Woods & Wayside International, dan Rainforest Action Network.
Analisis citra satelit yang menunjukkan deforestasi dalam konsesi PT Mayawana Persada: https://map.nusantara-atlas.org/?s=6216fa519bd327cc4496ff1af6f6a7aa.
Media contacts:
- Untuk Auriga Nusantara: Hilman Afif, hilman@auriga.or.id
- Untuk Greenpeace Indonesia: Budiarti Putri, budiarti.putri@greenpeace.org, +62-8111463105.
Editor Notes:
- PT Mayawana Persada menebang 11.805 ha hutan hujan pada tahun 2022 dan 16.118 hektare pada 2023 di dalam konsesi kayu pulp-nya di Provinsi Kalimantan Barat. Secara total, dalam tiga tahun terakhir (2021–2023), tutupan hutan alam di dalam konsesi Mayawana telah berkurang sebanyak 33.070 ha, atau setara dengan 45% luasan Singapura. Pada akhir tahun 2023, masih tersisa 55.625 ha hutan alam di dalam konsesi tersebut.
-
Pada 2023 persentase deforestasi di lahan gambut meningkat menjadi lebih dari 80%. Pembukaan lahan gambut untuk perkebunan kayu pulp industri menghasilkan jumlah CO2 dan metana yang besar. Oleh karena itu, bentuk perubahan penggunaan lahan ini merupakan penyumbang utama emisi gas rumah kaca (GHG) dan membuat lanskap ini rentan terhadap kebakaran skala besar.