Logo

EN | ID

Perlindungan Gambut Bukan Alasan Untuk Menghabiskan Hutan Alam Tersisa: Kebijakan Land Swap Berpotensi Deforestasi Dari Aceh Hingga Papua (2019)


AURIGA -  Pemerintah Indonesia tampaknya sedang merencanakan deforestasi (planned deforestation) dengan mengatasnamakan perlindungan gambut. Hal ini terlihat setelah Koalisi Anti Mafia Hutan menganalisis spasial alokasi lahan usaha pengganti (land swap) yang dipublikasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Kebijakan land swap merupakan respon pemerintah terhadap konsesi hutan tanaman (HTI) yang terimbas oleh kebijakan perlindungan gambut demi mencegah berulangnya kebakaran hutan dan lahan. Sebagaimana diatur oleh Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan No. P.40/2017 tentang Fasilitasi Pemerintah Pada Usaha Hutan Tanaman Industri Dalam Rangka Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, land swap diberikan kepada pemegang izin HTI yang 40% atau lebih areal kerjanya ditetapkan sebagai ekosistem gambut dengan fungsi lindung.1 Dari total 12,94 juta ha areal prioritas restorasi gambut yang diemban oleh Badan Restorasi Gambut (BRG), seluas 2,15 juta ha di antaranya atau setara 16% berada di konsesi HTI, yang mana 216.044 ha mengalami kebakaran luar biasa pada tahun 2015.

Melalui situsnya,3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mempublikasi Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. SK.4732/MenLHK-PHPL/KPHP/HPL.0/9/2017 tentang Peta Indikatif Arahan Pemanfaatan Hutan Produksi yang Tidak Dibebani Izin Untuk Usaha Pemanfaatan Hutan (selanjutnya disebut SK 4732). Peta alokasi land swap tercantum dalam Lampiran Peta Arahan SK 4732 tersebut. Meski peta tersebut berskala kecil (1:500.000), atau tidak memenuhi ketentuan Badan Informasi Geospasial mengenai peta operasional, Koalisi Anti Mafia Hutan berupaya menganalisisnya secara spasial dan menemukan bahwa dari total alokasi 921.230 ha untuk land swap, 362.390 ha atau 40% di antaranya merupakan tutupan hutan, baik hutan primer maupun hutan sekunder.