Logo

EN | ID

Kabar Buruk Deforestasi Global Meningkat Pesat:

Indonesia di Persimpangan antara Komitmen Hijau dan Kepentingan Ekonomi Jangka Pendek

Jakarta, 16 Oktober 2025 — Dalam tiga tahun terakhir, tren kehilangan hutan meningkat setelah sebelumnya sempat menurun drastis pada periode 2017–2021. Laporan Forest Declaration Assessment (FDA) terbaru yang dipublikasi 13 Oktober 2025 menegaskan bahwa dunia gagal menjaga janji menahan laju deforestasi, dan Indonesia menjadi cermin paling nyata dari kenyataan itu; di satu sisi Indonesia digadang sebagai pionir keberhasilan, di sisi lain justru kembali membuka jalan bagi kerusakan baru atas nama pembangunan dan investasi.

Keberhasilan Indonesia menurunkan deforestasi antara 2017 hingga 2021 adalah hasil dari kebijakan yang berani di masa itu—moratorium sawit, pengendalian kebakaran, dan penguatan penegakan hukum. Namun, capaian itu kini terkikis oleh lemahnya komitmen politik dan kebijakan baru yang justru membuka ruang legal bagi pembukaan hutan.

Pemerintah tampak ingin memelihara citra hijau di luar negeri, tetapi di dalam negeri, kebijakan seperti Food and Energy Sovereignty Plan dan pelonggaran izin tambang menunjukkan arah sebaliknya.” Hilman Afif, Juru Kampanye Yayasan Auriga Nusantara

Kenaikan deforestasi dalam tiga tahun terakhir adalah alarm keras bahwa target FOLU Net Sink 2030 hanya akan menjadi retorika jika tidak disertai langkah nyata untuk melindungi hutan alam tersisa—baik di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan. Pencabutan empat izin tambang di Raja Ampat pada 2025 sempat dipuji sebagai langkah progresif, tetapi kenyataannya langkah tersebut hanya menyentuh permukaan. Masih ada 381 izin pertambangan di 289 pulau kecil dengan total luas 921 ribu hektare yang terus mengancam ekosistem pesisir dan kehidupan masyarakat lokal.

Sementara itu, sektor pertanian permanen tetap menjadi penyumbang utama deforestasi global—menurut FDA, mencapai 86 persen. Kondisi ini mencerminkan realitas di Indonesia, di mana ekspansi kebun kayu, sawit, dan kini hutan tanaman energi terus bergerak ke kawasan hutan alam. Di Gorontalo, misalnya, proyek hutan energi berkembang pesat bukan hanya karena kebijakan nasional, tapi juga karena dorongan pasar global terhadap biomassa sebagai sumber energi “hijau”. Ironisnya, ekspor biomassa dari Indonesia ke Jepang melonjak tajam antara 2021–2024, menandakan bahwa energi bersih di satu negara sedang dibangun di atas kehancuran ekologis negara lain.

Tekanan terhadap hutan juga datang dari ambisi tambang nikel yang digadang sebagai bahan utama transisi energi dunia. Industri ini menambah luka baru di kawasan timur Indonesia. Hutan dibuka untuk menambang bahan baku kendaraan listrik yang diklaim ramah lingkungan. Paradoks ini menunjukkan betapa transisi energi global gagal memutus ketergantungan terhadap praktik ekstraktif yang menghancurkan ekosistem dan komunitas lokal.

Lebih jauh, kebijakan pemerintah untuk membuka 481 ribu hektare hutan di Merauke dalam program Food and Energy Sovereignty Plan menunjukkan bahwa ancaman deforestasi di masa depan bukan lagi soal kelalaian, melainkan pilihan politik yang sadar. Alih-alih memperkuat perlindungan terhadap hutan alam, kebijakan ini justru memperluas izin agroindustri di wilayah yang selama ini menjadi benteng terakhir keanekaragaman hayati.

Di sisi lain, ketimpangan dalam penegakan hukum semakin memperdalam krisis keadilan lingkungan. Negara masih lebih cepat menindak petani kecil dan masyarakat adat daripada korporasi besar penyebab deforestasi industri. Bahkan tak sedikit masyarakat adat yang mempertahankan hutan dihadapkan pada kriminalisasi dan penggusuran.

Situasi ini menunjukkan bahwa deforestasi bukan sekadar akibat lemahnya tata kelola, melainkan hasil dari sistem ekonomi dan politik yang menempatkan hutan sebagai korban permanen ambisi global dan domestik. Permintaan dunia atas komoditas berisiko tinggi—sawit, kayu, biomassa, dan nikel—terus tumbuh tanpa mekanisme uji tuntas yang memadai. Negara- negara importir menuntut komoditas bebas deforestasi, tetapi menutup mata terhadap jejak kerusakan di negara produsen.” Timer Manurung, Ketua Yayasan Auriga Nusantara

Indonesia kini berada di persimpangan antara komitmen pada agenda iklim, yang sering ditunjukkan di panggung internasional, dan kepentingan ekonomi jangka pendek, yakni mengejar target pertumbuhan dengan mengorbankan lingkungan. Pemerintah bisa memilih mempertahankan citra hijau di forum internasional, atau benar-benar menegakkan perlindungan terhadap hutan dan masyarakat yang menggantungkan hidup padanya. Dunia, pada akhirnya, juga harus bercermin: komitmen hijau yang dibangun di atas abu hutan tropis bukanlah solusi, melainkan pengkhianatan terhadap masa depan bumi.

Narahubung:
Hilman Afif, (hilman@auriga.or.id)
Juru Kampanye Yayasan Auriga Nusantara