Logo

EN | ID

Kayu-kayu deforestasi Indonesia (masih) leluasa masuk pasar Eropa

Analisis terhadap ribuan naskah laporan industri kayu di Indonesia menghadirkan pemahaman komprehensif mengenai perusahaan-perusahaan pembeli kayu deforestasi Kalimantan

Gambar-gambar lapangan memperlihatkan salah satu hutan habitat dan tempat sarang orangutan kalimantan dihancurkan buldoser

Gambar-gambar yang memperlihatkan penghancuran hutan di berbagai kabupaten di Kalimantan dirilis sebagai bagian dari laporan investigasi, berjudul Risky Business (Tercemar Deforestasi, versi Bahasa Indonesia), yang dirilis secara kolaboratif oleh Auriga Nusantara dan Earthsight, organisasi lingkungan yang masing-masing berbasis di Indonesia dan Inggris.

Kedua organisasi ini melakukan investigasi lapangan setelah menganalisis sekitar 10.000 naskah dalam Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) – laporan industri kayu ke sistem data yang dikelola Kementerian Kehutanan – dan mengidentifikasi adanya 65 industri yang menerima (dan mengolah) kayu dari pembabatan hutan alam, sebagian besar di Kalimantan[1]. Keduanya meyakini bahwa inilah kali pertama RPBBI dianalisis secara komprehensif perihal keterhubungannya dengan deforestasi pada hutan-hutan tersisa di Kalimantan. Data-data tersebut selanjutnya digabungkan dengan data peredaran kayu Indonesia-Eropa, sehingga terungkap bahwa lima teratas pengguna kayu deforestasi pada 2024 seluruhnya menjual produk kayu ke Eropa[2]. Patut ditambahkan bahwa dalam beberapa dekade terakhir bahwa sejumlah besar hutan Kalimantan telah dikonversi menjadi kebun monokultur yang turut menghancurkan habitat orangutan.

Recently deforested land in the concession of oil palm company PT Bina Sarana Sawit Utama, November 2024–2025 © Auriga / Earthsight

Uni Eropa berencana melarang "kayu deforestasi" seperti ini masuk pasar Eropa, melalui penerapan EU Deforestation Regulation (EUDR). Regulasi ini telah mengalami penundaan sebelumnya, dan kini sedang menghadapi ancaman penundaan dan pelemahan[3]. Kegagalan menerapkan regulasi yang telah disepakati otoritas terkait di Eropa ini akan mengakibatkan perbatasan Uni Eropa leluasa dimasuki kayu-kayu kotor ini, demikian Earthsight.

Auriga Nusantara mengirimkan tim penelisik lapangan ke empat konsesi pembabat hutan alam yang memasok lima industri tersebut di atas pada 2024. Tim ini menyaksikan di Kalimantan Tengah, misalnya, ribuan hektare hutan alam yang dibabat dalam beberapa tahun terakhir yang tadinya merupakan salah satu pusat sarang orangutan kalimantan tersisa[4]. Penduduk setempat menyampaikan hilangnya sumber pangan, pendapatan, dan material lainnya akibat dibabatnya hutan tersebut, yang memicu konfrontasi mereka dengan perusahaan dan polisi. Mereka mengeluh “tidak berdaya” dan “hanya menjadi penonton” perusakan alam tersebut.

Deforestation in the concession of PT Bina Sarana Sawit Utama, 2021–2025 © Auriga / Earthsight. Image source: Sentinel-2 via Google Earth Engine

Earthsight dan Auriga mengkonfirmasi masuknya kayu deforestasi tersebut ke pasar Eropa. Satu perusahaan Belanda yang menerima kiriman kayu lapis (plywood) Indonesia pada Februari 2024 menyampaikan lokasi dari mana tegakan kayu tersebut berasal. Di area (titik-titik) tersebut, terdapat ratusan hektar pembabatan tutupan hutan alam. Meski demikian, dalam rekaman, perusahaan Belanda ini berujar: "Kami akan terus berbisnis dengan perusahaan-perusahaan yang telah lama kami kenal." Perusahaan Belanda lainnya mengaku telah melacak pasokan kayunya hingga ke sebuah perusahaan bernama PT Mayawana Persada, satu perusahaan kebun kayu di Kalimantan Barat yang dalam beberapa tahun terakhir menjadi jawara deforestasi di Indonesia.

Minimnya informasi publik mengakibatkan kemustahilan Auriga Nusantara dan Earthsight melacak ke mana persisnya kayu-kayu deforestasi Indonesia bermuara. Lima teratas pengekspor ke Eropa pengguna kayu deforestasi mengirim 23.272m3 kayu lapis, kayu taman (garden decking), kusen pintu (door frames) – yang bahan bakunya adalah kayu-kayu alam – pada 2024, sebagian besar ke perusahaan-perusahaan di Belanda, Belgia, dan Jerman[5].

Semua pengiriman tersebut tampak legal. Sejumlah besar di antaranya kemungkinan besar berasal dari praktik tebang pilih (atau dulu dikenal dengan HPH - Hak Pengusahaan Hutan), yang secara lingkungan jauh lebih ramah. Namun begitu, semua pengiriman tersebut berisiko tinggi (high risk) tercemar deforestasi.

Meski bersikukuh berkelanjutan, sebagian besar perusahaan Eropa yang ditanyai Earthsight dalam investigasi ini tidak dapat mengatakan dari mana persisnya kayu mereka berasal atau bagaimana mereka menghindarkan kayu deforestasi. Perusahaan-perusahaan yang ditanyai tersebut, importir ataupun grosir (wholesalers), secara bersama melayani setidaknya sembilan negara Eropa, sebagian besar Belgia, Jerman, Prancis, dan Belanda. Earthsight secara mudah menemukan produk kayu-keras Indonesia diproduksi perusahaan-perusahaan ini di taman-taman utama dan toko bangunan di Belgia dan Belanda, namun informasi mengenai dari mana persisnya asal kayunya tidak tersedia. Beberapa perusahaan yang dikontak Earthsight  menyampaikan keprihatinan dan berjanji hanya akan membeli kayu bersertifikat kredibel, meski sebagian lainnya tampak kurang konstruktif.

Aron White, Ketua tim Earthsight untuk Asia Tenggara, mengatakan: “Terlihat jelas risiko dana Eropa turut menghancurkan sarang-sarang terakhir orangutan di Bumi. (Dalam investigasi/laporan ini) Kami mengidentifikasi perusahaan-perusahaan yang membeli ribuan meter kubik kayu deforestasi dari Indonesia sembari secara tidak tepat mengklaim semua pasokan mereka berkelanjutan. Kasus-kasus ini menunjukkan kenapa EUDR mesti diberlakukan segera, tanpa penundaan: untuk memastikan perusahaan membersihkan rantai pasoknya dan berhenti bersembunyi di balik label “hijau” yang menyesatkan. Perusahaan-perusahaan kayu Eropa seyogianya memutus hubungan dengan pemasok mana pun yang terhubung dengan deforestasi dan beralih ke berbagai alternatif yang tersedia yang benar-benar bebas deforestasi.”

Terdapat risiko tinggi mengimpor kayu deforestasi dari kelima perusahaan yang terungkap dalam kajian atau investigasi ini, karena kelimanya tidak selalu terbuka mengenai penggunaan kayu deforestasi yang dibelinya. Earthsight dan Auriga mendokumentasikan pertemuan dengan staf senior dua dari lima perusahaan tersebut, dan semuanya menyangkal membeli kayu deforestasi. Akan tetapi, laporan yang disampaikan perusahaan tersebut ke pemerintah justru menampilkan sebaliknya: masing-masing membeli kayu deforestasi 3.594 m3 dan 2.757 m3 pada 2024. Pada tahun yang sama, masing-masing perusahaan ini mengirimkan 73% dan 88% ekspornya ke Eropa.

Footage from Earthsight and Auriga's undercover visit to PT Kayu Multiguna Indonesia, November 2024 © Auriga / Earthsight

Hilman Afif, Juru Kampanye Auriga Nusantara, menambahkan: “Kehancuran hutan Kalimantan tidak hanya tragedi Indonesia, tetapi global. Orangutan terusir, masyarakat adat dan lokal kehilangan ruang hidupnya, hingga iklim yang semakin tak menentu mencerminkan rapuhnya tata kelola kehutanan Indonesia. Sebagaimana dalam laporan ini, deforestasi bahkan mencapai lahan gambut – ekosistem penyimpanan karbon raksasa yang seharusnya menjadi benteng terakhir pertahanan kita menghadapi krisis iklim. Setiap hektar hutan yang hilang mendekatkan kita pada kehancuran masa depan, menjauhkan generasi mendatang dari bumi dan hunian yang aman. Saatnya Indonesia menunjukkan kepemimpinannya dengan memastikan setiap komoditas, termasuk kayu, benar-benar bebas deforestasi.”

Deforestasi di Kalimantan terus meningkat pada tahun-tahun terakhir. Tahun 2024,, deforestasi pulau ini mencapai 129.000 hektare, setara kota Roma atau Los Angeles. Pemanenan kayu mendanai konversi hutan alam, yang kaya sekaligus rumah bagi beragam spesies terancam punah, menjadi kebun monokultur skala luas. Ekspansi logging dan perkebunan yang tak terkendali turut menjadi penghancur hutan alam tropis pada berbagai dekade terakhir, menyisakan hanya sepertiga (36%) hutan utuh (intact forest) pada tahun 2019 dan menyumbang emisi sangat besar. Tahun lalu, emisi deforestasi Indonesia, sebagian besar di Kalimantan, lebih besar daripada emisi negara Belanda.

Sekian

Laporan selengkapnya, berjudul Tercemar Deforestasi: kayu-kayu dari penghancuran hutan Kalimantan di pasar Eropa, tersedia di di sini.  

Gambar-gambar penghancuran hutan, aktivitas logging, dan time-lapse satelit area deforestasi dalam laporan dapat disediakan sesuai permintaan.

 

Catatan

[1] Naskah-naskah tersebut menyediakan gambaran nyaris-utuh mengenai perusahaan-perusahaan yang memperdagangkan kayu deforestasi dari Kalimantan. Jumlah angka-angka ini hampir sama persis dengan total data pemerintah. Laporan Auriga Nusantara dan Earthsight mencantumkan nama ke-65 perusahaan tersebut. Lebih jauh, simak bagian “Ringkasan” laporan. Salinan dokumen dapat disediakan berdasarkan permintaan.

[2] Lihat bagian “Ringkasan” laporan yang menyajikan tabel yang mengidentifikasi kelima perusahaan tersebut, yang seluruhnya – berdasar laporan yang disampaikannya kepada pemerintah – membeli 31.425 m3 kayu deforestasi pada 2024. Lampiran II laporan ini memuat profil masing-masing perusahaan. Empat dari lima teratas pengguna kayu deforestasi tersebut menjual produk kayunya ke banyak negara pada 2024. Salinan sebagian catatan pengapalan dapat disediakan berdasarkan permintaan.

[3] EUDR melarang impor kayu – dan berbagai komoditas lainnya – yang berasal dari hutan yang barusan ditebang atau terdegradasi, atau yang diproduksi secara ilegal. Regulasi ini diagendakan berlaku per 30 Desember 2025, meski European Commission – merespon lobi-lobi dari pihak industri terkait – mengusulkan penundaan kembali selama setahun setelahnya atau bahkan membuka ruang pembahasan kembali regulasi tersebut. Lihat “Bab 2” laporan.

[4] Pada November 2024, Auriga Nusantara mendokumentasikan pembabatan hutan alam skala luas dan pembangunan kebun kayu baru di antara Sungai Kahayan dan Sungai Kapuas di Kalimantan Tengah. Sebuah laporan yang didukung pemerintah pada tahun 2016 memperkirakan bahwa area ini, yang didominasi konsesi perkebunan, dihuni hingga 2.300 orangutan. Ini adalah salah satu dari hanya 19 habitat yang dihuni lebih dari 1.000 orangutan di dunia. Sebagian besar habitat ini kini telah hancur. Orangutan merupakan salah satu spesies yang tergolong Kritis (Critically Endangered / CR), satu tahap di bawah punah di alam liar (Extinct in the Wild / EW). Di area ini juga terdapat owa, yang tergolong terancam punah. 

[5] Profil semua perusahaan yang disebut dalam laporan, termasuk infografis dan detail rantai pasok serta perdagangan internasional, tersedia di sini. Tabel yang memperlihatkan arus perdagangan hingga ke perusahaan-perusahaan Eropa dapat disediakan sesuai permintaan. Meski klien/pembeli setiap perusahaan tidak selalu jelas, namun keseluruhan perusahaan ini melayani pembeli di Austria, Belgia, Prancis, Jerman, Irlandia, Italia, Luksemburg, Belanda, Inggris, dan Swedia. Tanggapan perusahaan-perusahaan tersebut terhadap temuan Auriga dan Earthsight tersedia di sini.

 

Narahubung

Ketua Tim Earthsight untuk Asia Tenggara dan Afrika, Aron White (EN): AronWhite@earthsight.org.uk
Earthsight press email: press@earthsight.org.uk

Juru Kampanye Auriga Nusantara, Hilman Afif (ID, EN), hilman@auriga.or.id
Konsultan komunikasi Earthsight, Jack Hunter (EN): jack@fthe.fr