Logo

EN | ID

Tujuh perusahaan besar dapat mengurangi emisi setara emisi tahunan Belanda dengan menerapkan sumber produksi bebas deforestasi.

Dengan menerapkan sumber produksi bebas deforestasi dan degradasi gambut, tujuh grup perusahaan dagang besar sektor pertanian dapat berkontribusi terhadap pengurangan emisi gas rumah kaca global.

Oxford, Britania Raya (3 November 2025) – Analisis yang diterbitkan oleh Trase menunjukkan bahwa tujuh grup perusahaan dagang besar di sektor pertanian berpotensi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca global yang setara dengan emisi tahunan Belanda.

JBS, Marfrig, Minerva, Musim Mas, Royal Golden Eagle, Sinar Mas, dan Wilmar merupakan 7 grup perusahaan yang memiliki eksposur tertinggi terhadap emisi gas rumah kaca. Menurut analisis Trase, pada 2022, perusahaan tersebut memiliki eksposur emisi dari perubahan penggunaan lahan yang terkait dengan ekspor komoditas pertanian dan peternakan (soft commodity). Secara keseluruhan, perusahaan-perusahaan tersebut terekspos lebih dari setengah total emisi yang berasal dari deforestasi dan degradasi gambut yang berhubungan dengan ekspor daging sapi dari Brasil, minyak kelapa sawit dan pulp kayu dari Indonesia. [1]

“Analisis ini menunjukkan bahwa sejumlah pelaku dapat memberikan manfaat iklim lebih besar dibandingkan keseluruhan negara, ” kata André Vasconcelos, Global Engagement Lead di Trase. “Sangat penting untuk sektor swasta meningkatkan aksi mereka di dalam usaha kolektif ini untuk memitigasi perubahan iklim.”

Data ini dianalisis oleh ahli riset data dari Trase, termasuk Carina Mueller, Carbon Accounting Research Fellow dari SEI. Peneliti Trase menelaah lima komoditas pertanian dengan dampak terkait perdagangan terbesar – daging sapi dan kedelai, kakao, minyak kelapa sawit, dan pulp – di tiga negara produsen utama: Secara berurutan, Brasil, Pantai Gading, dan Indonesia. Tujuannya adalah untuk menghitung volume emisi dari deforestasi dan degradasi gambut; perusahaan-perusahaan ini terekspos pada emisi tersebut melalui perdagangan komoditas global.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tiga komoditas - daging sapi dari Brasil, serta minyak kelapa sawit dan pulp kayu dari Indonesia - menyumbang bagian tersebesar dari eskposur emisi. Ketujuh perusahaan ini menyumbang 54% dari total emisi akibat deforestasi dan degradasi gambut yang terkait dengan ekspor komoditas pada 2022.

“Meskipun tingkat emisi deforestasi kedelai menurun dalam beberapa tahun terakhir, ini mungkin akan berubah dengan terancamnya Moratorium Kedelai Amazon, ” Vasconcelos memperingatkan. Moratorium Kedelai, komitmen sukarela yang ditandatangani oleh lebih dari 25 perusahaan, adalah komitmen bebas deforestasi bersejarah yang telah memberikan kontribusi signifikan untuk mengurangi deforestasi langsung untuk produksi kedelai di hutan Amazon, Brasil.

Eksposur emisi tersebut terutama berasal dari sumber produksi di lahan hutan yang baru saja dibabat atau lahan gambut yang baru dikeringkan, dua sumber utama pelepasan gas rumah kaca dalam jumlah besar. Dari total eksposur, minyak kelapa sawit dan pulp kayu dari Indonesia memiliki jejak iklim terberat mencapai 107,5 Mt CO₂ (megaton setara CO₂) atau 74% dari eksposur akibat emisi perubahan penggunaan lahan.

“Indonesia memainkan peran utama di situasi ini – baik sebagai salah satu produsen komoditas terbesar dan juga sebagai negara yang menanggung biaya lingkungan, ” ujar Timer Manurung, Ketua Yayasan Auriga Nusantara. “Perusahaan-perusahaan ini memiliki kekuatan dan tanggung jawab untuk mentransformasi industri. Menerapkan rantai pasok bebas deforestasi dan degradasi gambut tidak hanya akan melindungi hutan dan lahan gambut, namun turut memperkuat kontribusi Indonesia terhadap agenda iklim global. ”

Komitmen perubahan iklim membutuhkan lebih banyak transparansi

Pada COP26 di Glasgow (2021), lima dari tujuh perusahaan berkomitmen untuk mempercepat aksi melawan deforestasi sesuai dengan Peta Jalan Sektor Pertanian Menuju 1,5°C. Namun, Royal Golden Eagle dan Minerva belum menandatangani peta jalan ini.

Menurut penilaian Forest 500 terbaru dari Global Canopy, ketujuh perusahaan ini telah membuat komitmen bebas deforestasi atau konversi, namun belum seluruhnya melaporkan kemajuan mereka secara transparan.

“Sungguh luar biasa untuk bisa melihat komitmen dan aksi mereka, tetapi tanpa keterbukaan publik dan pelaporan yang transparan, tidak ada cara untuk memverifikasi apakah komitmen mereka benar-benar dipenuhi, ” jelas Vasconcelos. “Tidak ada rute menuju net zero atau nol bersih tanpa mengatasi deforestasi dan degradasi gambut. ”

Menjelang COP30, negara-negara harus menyerahkan Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional (Nationally Determined Contributions/NDC) dengan rencana dan tindakan konkret untuk mengurangi emisi dan beradaptasi dengan dampak perubahan iklim. Sejalan dengan itu, Presidensi COP Brasil menegaskan bahwa keberhasilan aksi iklim harus melibatkan seluruh pihak melalui usaha kolektif. Dalam konteks emisi dari perubahan penggunaan lahan, sektor swasta memegang peranan penting untuk mendukung pencapaian target NDC dan menurunkan tingkat emisi global secara signifikan.

[1] Secara keseluruhan, para perusahaan ini terekspos pada rata-rata 144,4 juta ton setara CO₂ (Mt CO₂-eq) per tahun, hanya dengan menggunakan wilayah hutan yang baru dibabat sebagai sumber produksi komoditas. Jumlah ini nyaris sebesar 155,2 juta ton setara CO₂ yang dilepaskan oleh negara Belanda pada 2022. Analisis lengkapnya dapat ditemukan di https://trase.earth/insights/leveraging-supply-chains-for-climate-action-the-outsized-carbon-saving-potential-of-seven


Tentang Trase

Trase adalah inisiatif transparansi berbasis data dipimpin oleh Global Canopy dan Stockholm Environment Institute (SEI). Kami memetakan perdagangan internasional komoditas pertanian dan menyediakan data terbuka, wawasan, and alat yang membantu perusahaan, lembaga keuangan, dan pemerintah untuk memperkuat akuntabilitas untuk sasaran keberlanjutan mereka. www.trase.earth

Mengenai Forest 500

Forest 500 mengidentifikasi perusahaan dan lembaga keuangan dengan paparan risiko deforestasi tertinggi, dan secara tahunan menilai kekuatan dan implementasi komitmen perusahaan-perusahaan tersebut terkait deforestasi, konversi ekosistem alami, dan hak asasi manusia yang terkait. Penilaian Forest 500 tahunan ke-11 dilaksanakan dari April hingga September 2024.

Tentang Auriga Nusantara

Auriga Nusantara adalah organisasi non-pemerintah yang berfokus menciptakan kelestarian sumber daya alam dan keseimbangan lingkungan demi peningkatan kualitas hidup manusia dengan Mengeliminir aksi-aksi destruktif adalah mengurangi tindakan individu, kelompok, atau perusahaan, yang menyebabkan kerusakan lingkungan, dan kerugian perekonomian negara. Sejak 2019, Auriga Nusantara merupakan mitra strategis dari Trase.Earth di Indonesia.

Laporan dapat diakses di

https://trase.earth/insights/leveraging-supply-chains-for-climate-action-the-outsized-carbon-saving-potential-of-seven

Catatan untuk Para Editor

Untuk informasi selanjutnya dan mengadakan wawancara, hubungi: g.souzaneuls@globalcanopy.org